Patah Hati (lagi)

tips-mengatasi-patah-hati

Hmmmfffhhh. Saya menarik nafas panjang. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan sekarang kita sudah memasuki tahun 2017. Selamat tahun baru ya, teman-teman. Maaf, saya lama tidak menulis disini. Bicara tentang resolusi, resolusi saya masih sama seperti tahun kemarin.  Saya ingin bisa menikah di tahun ini. Aamiin.

Oke, kembali ke judul postingan ini. Saya mau cerita tentang kesedihan saya beberapa waktu ini. Yah, saya patah hati lagi. Saking seringnya patah hati belakangan ini, saya susah untuk menangis. Sedih? Pastinya. Bohong kalau saya bilang saya tidak sedih. Sakit? Iya sedikit, tapi tidak sesakit kehilangan kemarin yang saya ceritakan disini .

Lalu, bagaimana ceritanya? Jadi, sebulan yang lalu tepatnya awal desember saya berkenalan dengan seorang pria. Umur 2 tahun lebih muda, tinggal di surabaya, mualaf (setahun sebelum bertemu saya), bekerja di bumn perkebunan (bisa menebak sendiri kan?), penempatan mojokerto dan punya jabatan (dengan fasilitas rumah dinas dan mobil dinas). Oke, menurut saya pria ini sudah cukup memenuhi kriteria orang tua saya. Pria jawa, seagama, berpendidikan minimal sarjana, pns/ peg bumn dengan penghasilan tetap dan tempat kerja di jawa timur. Kamis malam kami berkenalan dan sabtu malam kami bertemu. Cukup cepat ya? Pertama kali kami bertemu di rumah saya dan itu sepengetahuan orang tua saya. Setelah ngobrol sebentar dengan kedua orang tua saya, akhirnya kami pamit keluar. Pertama kali keluar itu saya diajak bertemu dengan wanita, teman baiknya di kantor yang datang bersama pacarnya. Double date gitu istilahnya.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Komunikasi lancar dan bertemu kedua kali dia rela pulang kantor menyetir dari mojokerto datang ke acara keluarga saya, sehingga orang tua saya mulai memberi lampu hijau dan dia juga bercerita tentang saya ke orang tuanya.

Tiba-tiba datanglah badai itu. Beberapa kali dia tidak bisa datang ke rumah karena sakit dan dinas keluar kota, lalu dia terkena musibah kehilangan dompet. Sementara mama saya mulai mempermasalahkan ketidakhadirannya di malam minggu dan masalah mualafnya. Orang tua saya ingin minta bukti mualafnya karena saat main ke rumah tidak pernah lihat dia shalat secara langsung.

Mama saya juga meminta kepastian keseriusannya setiap hari kepada saya dengan bertanya, “Apa dia serius dengan saya? Kapan kalian menikah? Kenapa malam minggu ini dia tidak datang ke rumah? Apa mungkin ada wanita lain yang dekat dengannya?”.  Dan sebagainya.

Saya lelah. Saya tertekan. Tiap hari dimborbardir dengan pertanyaan yang sama terus-menerus. Saya sudah menjelaskan, tapi mama saya tetap tidak bisa menerima. Semua rasanya selalu salah.

Malam minggu tidak datang? Yah siapa tau dia ada acara keluarga, dinas keluar kota atau tidak punya uang karena dompetnya baru saja hilang. Toh, kalau dia pergi selalu mengirimkan foto atau share location. Bukti mualaf? Saya sendiri yang islam sejak lahir kalau diragukan keislaman saya juga tidak suka. Masalah agama dan keyakinan itu hal yang sensitif. Serius dan kapan menikah? Untuk hal ini saya tidak bisa jawab karena kami hanya bertemu beberapa kali dan baru sebulan berkenalan. Yah, bisa jadi dari kata-kata dan sikapnya selama ini, but who knows? Masalah wanita lain? Mungkin saat itu tidak ada karena kalau keluar dia selalu menitipkan ponselnya pada saya dan sejauh yang saya lihat tidak ada yang aneh-aneh waktu saya buka.

Jadi hal- hal tidak penting semacam itu dan kepastian untuk  menikah yang hampir setiap hari dipermasalahkan mama saya, membuat saya tidak bisa mengendalikan emosi. Akhirnya saya pun bercerita tentang tekanan mama saya untuk menikah kepadanya dan pengalaman masa lalu saya. Jujur, saya trauma dengan kegagalan kemarin. Orang tua saya bukan orang yang mudah percaya kepada orang lain. Kalau pria ini diminta bukti mualafnya dan mungkin tabungan untuk menikah, sedangkan pria yang dulu diminta slip gaji, tabungan, dan lain -lain saat akan melamar. Saya menyiapkan diri kalau ternyata dia mundur setelah mengetahui sikap orang tua saya.

“Aku siap menikah, tapi aku belum punya apa-apa. Dari awal aku sudah memberitahumu kalau tabunganku rumah dan mobil habis buat biaya berobat ayahku. Selain itu aku masih ada tanggungan biaya sekolah adekku yang masih sma. “Uangku barusan hilang. Aku nggak punya uang buat tahun baru. “Sakit aja dikomen. Aku beneran nggak bisa datang waktu itu. “Berapa standar gaji yang diminta ortumu? Kalau gajiku belum sampai di atas 10 juta.  “Apa kita kawin lari aja kalau ortumu nggak setuju sama aku? “Apa kamu bahagia denganku? Aku takut nggak bisa membahagiakan kamu kalau kita menikah nanti karena aku harus bisa memberimu sama seperti yang diberikan ortumu. “Orang tuamu nggak percaya dengan mualafku? Insya allah aku shalat di masjid bareng papamu kalau ke rumahmu. “Sekarang dijalani dulu ya, siapa tahu kita berjodoh.”

Itulah beberapa kata-katanya yang masih saya ingat dan membuat saya menangis. Saya mengakui kalau saya salah dan tidak akan membela diri. Hal-hal sepele yang saya katakan karena pengaruh mama saya, justru malah membebaninya. Hubungan kami malah memburuk setelah itu, ditambah sepertinya dia juga sedang ada masalah di kantor. Komukasi kami tetap ada tapi tidak selancar dulu, bahkan hampir terputus. Bertemu pun sudah tidak pernah. Intinya, dia mulai menghindar dan menjauh.  Yah, anggap saja dia mundur perlahan.

Seminggu ini saya menyesal, membuang ego dan berusaha memperbaiki keadaan, tetapi tetap tidak berhasil dan yang ada malah kami bertengkar karena salah paham. Apalagi dia juga tidak terbuka mengenai masalahnya di kantor. Kadang-kadang line dan whatsapp saya diacuhkan dan bahkan yang terakhir pun belum dibalas.

Mungkin kami memang tidak berjodoh dan lebih cocok untuk berteman. Mungkin saya bukan lagi prioritasnya sehingga kami tidak bisa bertemu dan dia lama membalas pesan saya. Mungkin saya terlalu terbawa perasaan dan harus lebih belajar mengendalikan emosi. Mungkin saya belum dewasa dalam menjalin hubungan dan perlu lebih belajar untuk memahami karakter pria. Mungkin saya terlalu jujur dan tanpa sengaja kata-kata saya telah melukainya. Mungkin saya masih trauma dengan pria masa lalu dan belum merasa nyaman saat bersamanya.  Mungkin lain kali kalau perasaan saya masih belum mantap, lebih baik pria yang dekat tidak dikenalkan kepada orang tua saya karena akan runyam jadinya. Mungkin saya tidak perlu cerita tentang pengalaman masa lalu karena beda pria beda pula kasusnya. Baiklah, saya menyerah sampai disini karena saya memutuskan berhenti dengan segala kemungkinan yang ada. Case closed.

 

Note :  Terima kasih untukmu. Kamu adalah kesalahan yang entah bagaimana ceritanya, tak pernah kuanggap salah di hidupku.